Cari Entry Blog Ini

Minggu, 28 April 2013

Apa Tarekat itu?

DEFINISI TARIKAT SUFI – ARTI TAREKAT SHUFI  – MAKNA THARIQOT SUFI – PENGERTIAN TAREQAT – TAREQOT SUFI – TORIQOT SUFI



dikutip dari buku Tasawuf Belitan Iblis

karya H Hartono Ahmad Jaiz



Tarikat atau tarekat berasal dari lafal Arab thariqah artinya jalan. Kemudian mereka maksudkan sebagai jalan menuju Tuhan; Ilmu batin, Tasawuf.



Perkataan Tarikat (“jalan” bertasawuf yang bersifat praktis) lebih dikenal ketimbang tasawuf, khususnya dalam kalangan para pengikut awam yang merupakan bagian terbesar.



Tarikat tidak membicarakan filsafat tasawuf, tetapi merupakan amalan (tasawuf) atau prakarsanya. Pengalaman tarikat merupakan suatu kepatuhan secara ketat kepada peraturan-peraturan syariat Islam dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, baik yang bersi­fat ritual maupun sosial, yaitu dengan menjalankan praktek-prak­tek dan mengerjakan amalan yang bersifat sunat, baik sebelum maupun sesudah sholat wajib, dan mempratekkan riyadah. Para kyai menganggap dirinya sebagai ahli tarikat. (Leksikon Islam, Pustaka Azet Perkasa Jakarta 1988, II, hal 707).



Selanjutnya, tentang tarikat ini kami kutip dari buku tersebut (leksikon Islam), karena sudah dirangkum dengan kondisi Indonesia sehingga mudah dicerna. Setelah itu baru kami ambilkan komentar tentang tarikat dari berbagai sumber lain. Sehingga pembeberan tarikat yang kami kutip berikut ini merupakan bahan yang akan dikomentari sesudahnya.



Dalam tradisi pesantren terdapat dua bentuk tarikat: (1) yang dipratekkan menurut cara-cara yang dilakukan oleh organisasi-organisasi tarikat, (2) yang dipratekkan menurut cara di luar ketentuan organisasi-organisasi tarikat.



Tidak semua organisasi tarikat menganut sistem kepercayaan dan praktek keagamaan yang sama. Terdapat dua kelompok (a) yang sepenuhnya sejalan dengan ajaran-ajaran Al-Qur`an dan hadis; (b) yang tidak memiliki kaitan yang cukup kuat dengan Al-Qur`an dan hadis.



Berikut ini ada beberapa tarikat-tarikat yang menerangkan nama pendirinya, wafat pendirinya, tempat tarikatnya, pengaruhnya, asal-usulnya dan keterangan-keterangan yang perlu.



Tarikat Haddadiah

Tarikat yang didirikan oleh Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad yang wafat 1095M di Yaman. Banyak orang yang takut ikut tarikat­nya berhubung ratibnya yang terkenal, Ratib Al-Haddad, dipercayai sebagai doa selamat yang bermantera. Pengaruhnya tak hanya di Aceh, tapi hampir di seluruh negara Indonesia.



Tarikat Khalwatiah

Tarikat yang diprogandakan dalam abad-18 oleh Syaikh Mustafa Al-Bakri di Mesir dan Suriah. Salah seorang tokoh tarikat ini ialah Ahmad At-Tijani yang berasal dari Aljazair.



Tarikat Maulawiah

Tarikat yang didirikan oleh Maulwi Jalaluddin Ar-Rumi, meninggal dunia di Anatoila, Turki. Zikirnya disertai tarian mistik dengan cara keadaan tak sadar, agar dapat bersatu dengan Tuhan. Penga­nut-penganutnya bersifat pengasih dan tidak mengharapkan kepen­tingan diri sendiri, serta hidup sederahana menjadi teladan bagi orang lain.



Tarikat Mu`tabarah Nahdliyin

Para kyai pada tanggal 10 Oktober 1957 mendirikan suatu badan federasi bernama Pucuk Pimpinan Jam`iyah Ahli Tariqah Mu`tabarah, sebagai tindak lanjut keputusan Muktamar N.U. (nahdlatul Ulama) 1957 di Magelang. Belakangan dalam Muktamar N.U. 1979 di Semarang ditambahkan kata Nahdliyin, untuk menegaskan bahwa badan ini tetap berafiliasi kepada NU. Sejak berdirinya pimpinan tert­inggi badan ini ialah para kyai ternama dari pesantren-pesantren besar.



Dalam anggaran dasarnya dinyatakan bahwa badan ini bertujuan:



(1) meningkatkan pengamalan syariat Islam di kalangan masyarakat;

(2) mempertebal kesetiaan masyarakat kepada ajaran-ajaran dari salah satu Mazhab yang empat; dan

(3) menganjurkan para anggota agar meningkatkan amalan-amalan Ibadah dan Muamalah, sesuai dengan yang dicontohkan para ulama salihin.



Pasal 4 menyatakan bahwa badan ini akan tetap setia kepada paham Ahlussunnah wal-Jama`ah.

Alasan utama mendirikan badan federasi ini adalah:



(1) untuk membimbing organisasi-organisasi tarikat yang dinilai belum mengajarkan amalan-amalan yang sesuai dengan Al-Qur`an dan hadis;

(2)  untuk mengawasi organisasi-organisasi tarikat agar tidak menyalahgunakan pengaruhnya untuk kepentingan yang tidak dibenar kan oleh ajaran-ajaran agama.



Tarikat Naqsyabandiah

Tarikat ini mula-mula didirikan di Turkestan oleh Bahiruddin Naqsyabandi (sumber lain menyebutkan, Muhammad bin Muhammad Bahauddin al-Bukhari 1317-1389M, bukan Imam Al-Bukhari perawi Hadits, pen) dan di Indonesia termasuk tarikat yang paling ber­pengaruh. Pimpinannya, Sulaiman Effendi, mempunyai markas besar yang terletak di kaki gunung Abu Qubbais di pnggiran kota Makkah. Pengikut-pengikutnya kebanyakan dari Turki dan wilayah-wilayah Hindia Belanda dulu, serta di bekas jajahan Inggris di daerah Melayu.

Pada umumnya tarikat ini paling banyak pengikutnya di Jawa sejak abad ke-19 sampai saat ini.

Tarikat ini adalah tarikat terbesar di dunia, juga di Indonesia, dan dianggap paling terawat baik. Ada seleksi untuk jadi pengi­kutnya. Markasnya di Jawa ada di Jombang, Semarang, Sukabumi, Labuhan Haji (Aceh) di pesantren Syaikh Waly, Khalidi.



Tarikat Qadiriah

Asal mulanya di Bagdad, dan dipandang paling tua. Pendirinya ialah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (1077-1166M). Mula-mula ia seorang ahli bahasa dan ahli Fiqih dari mazhab Hambali. Tulisannya pada umumnya berdasarkan ajaran Ahlus-Sunnah wal-Jama`ah. Ada sejumlah bukunya yang ditulis oleh murid-muridnya yang menceritakan kesaktiannya.



Pelajaran Tarikat Qadiriah tidak jauh berbeda dari pelajaran Islam umum. Hanya saja tarikat ini mementingkan kasih sayang terhadap semua makhluk, rendah hati dan menjauhi fanatisme dalam keagamaan maupun politik. Keistimewaan tarikatnya ialah zikir dengan menyebut-nyebut nama Tuhan.



Kaum Qadiriah terlalu menyamakan Tuhan dengan manusia. Paham Qadiriah pada hakikatnya adalah sebagian dari faham Mu`tazilah, karena imam-imamnya orang mu`tazilah. (Apa yang ditulis di Leksikon Islam ini, agaknya rancu dengan aliran Qada­riyah, yaitu aliran yang menganggap bahwa manusia ini bebas dan berkuasa penuh untuk menentukan dirinya, tidak ada campur tangan Tuhan, lawan dari aliran Jabbariyah yang menganggap manusia hanya bagai wayang yang seluruhnya dijalankan oleh dalang, semuanya digerakkan oleh Tuhan tanpa ada upaya manusia, pen. Selanjutnya, Leksikon Islam itu menulis:)



Ada anggapan membaca Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jilani pada tanggal 10 malam tiap bulan bisa melepaskan kemiskinan. Karena itu manaqibnya populer, baik di Jawa maupun Sumatra. (Ini jelas bid’ah dan sesat, lihat Sorotan terhadap Kissah Maulid, Nisfu Sya’ban, Manakib Syaikh AK Jailany oleh HSAAl-Hamdany, Pekalon­gan, 1971, dan Kitab Manakib Syekh AbdulQadir Jaelani Merusak Aqidah Islam oleh Drs Imron AM, Yayasan Al-Muslimun Bangil Jatim, cetakan keenam, 1411H/ 1990, pen).

Kadang kala tarikat ini digabung dengan Naqsyabandiah menjadi Tarikat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Seperti halnya di Suryalaya (Tasikmalaya Jawa Barat, dipimpin Abah Anom, yang sering dikun­jungi Harun Nasution, pen) dan Jombang (Jawa Timur, daerah kelah­iran Presiden Gus Dur, pen).



Tarikat Qadiriah Naqsyabandiah

Gabungan ajaran dua tarikat, yaitu Tarikat Qadiriah dan Tarikat Naqsyabandiah. Pendirinya Syaikh Khatib Sambas. Tarikat ini merupakan sarana yang sangat penting bagi penyebaran agama Islam di Indonesia dan Malaya dari pusatnya di Makkah antara pertenga­han abad ke-19 sampai dengan perempat pertama abad ke-20.



Tarikat Rifa’iah

Didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Ali-Abul Abbas (wafat 578H/1183M). Syaikh Ahmad, yang konon guru Syaikh Abdul Qadir Jilani, begitu asyik berzikir hingga tubuhnya terangkat ke atas, ke angkasa. Tangannya menepuk-nepuk dadanya. Kemudian Allah memerintahkan kepada bidadari untuk memberinya rebana di dadanya, daripada menepuk-nepuk dada.

Tapi Syaikh Ahmad tidak ingat apa-apa; begitu khusuknya, sehingga ia tak mendengar suara rebananya yang nyaring itu. Padahal selu­ruh dunia mendengar suara rebana itu.

Tarikat ini agak fanatik dan anggotanya dapat melakukan hal-hal yang ajaib, misalnya makan pecahan kaca, berjalan di atas api, dan sebagainya. Rifa`iah,  yang memang merinci tarikatnya dengan rebana, di Aceh dulu pernah berkembang besar dan disebut Rapa’i sudah sulit mencarinya yang asli, yang masih berpegang teguh pada ajaran.



Tarikat Samaniah

Tarikat yang dikenal di Jawa Barat dan Aceh, didirikan oleh Syaikh Muhammad Saman Dari Madinah, Arab Saudi, yang wafat tahun 1702 M. Manaqib (riwayat hidup) Syaikh Saman banyak dibaca orang yang mengharap berkah. Manaqib itu ditulis oleh Syaikh Siddiq Al-Madani, murid beliau.

Di situ tertulis: “barang siapa berziarah ke makam Rasullah tanpa meminta izin kepada Syaikh Saman ziarahnya sia-sia.” (Ini contoh kebatilan yang nyata, pen).

Juga disebutkan: “Siapa yang menyeru nama Syaikh tiga kali, hilang kesedihannya. Siapa yang makan-makanannya masuk surga. Siapa yang berziarah ke makamnya serta membaca doa-doa untuknya, diampuni dosanya.” (ini benar-benar mengada-ada atas nama agama, na’udzubillahi min dzaalik, pen). Tarikat Saman sekarang menjadi tari Seudati di Aceh. Zikir Saman mulanya hampir sama dengan zikir-zikir yang lain. Namun kemudian berkembang menjadi zikir yang ekstrim.



Tarikat Sanusiah

Tarikat yang didirikan oleh Syaikh Muhammad bin Ali As-Sanusi, tahun 1837, di Aljazair, meninggal dunia tahun 1957. Pusat tari­kat ini di Libia.



Tarikat Siddiqiah

Asal-usul tarikat ini tidak begitu jelas, dan tidak terdapat di negara-negara lain. Muncul dan berkembang di Jombang, Jawa Timur, dimulai oleh kegiatan Kiyai Mukhtar Mukti yang mendirikan tarikat ini tahun 1953.



Tarikat Syattariah

Tarikat yang dibangun oleh Syaikh Abdullah Syattari di India. Tarikat ini di Jawa masih ada, misalnya di sekitar Madiun. Di Aceh dulu mengalami puncaknya di zaman Sultanah (Ratu) Safiatud­din. Tarikat ini dibawa oleh Syaikh Abdurra’uf Sinkil yang kemudian bergelar Syiah Kuala.



Tarikat Syaziliah

Tarikat yang didirikan oleh Ali As-Syazili, terdapat di Afrika Utara, dan Arab, juga Indonesia, walaupun tidak luas tersebarnya dan pengaruhnya relatif kecil.



Tarikat Tijaniah

Tarikat yang didirikan oleh Ahmad At-Tijani. Tarikat ini dengan cepat meluas di Afrika Barat dan di negara-negara lain, antaranya Indonesia. Di Afrika tarikat ini telah banyak yang mengislamkan orang-orang Negro. (Ahmad At-Tijani ini mengaku dirinya adalah al-qothbul maktum yang menjadi perantara/ penengah antara semua anbiya’ (para nabi) dan auliya’ (para wali). Lihat Ilat Tashawwuf ya ‘Ibadallah oleh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Jam’iyyah Ihyait Turats al-Islami, hal 42, pen).



Tarikat Wahidiah

Tarikat yang ini didirikan oleh Kyai Majid Ma`ruf di Kedonglo, Kediri (Jawa Timur), 1963. Teoritis tarikat ini terbuka sifatnya, karena orang tidak usah mengucapkan sumpah untuk menjadi anggota: siapa saja yang mengamalkan zikir salawat wahidiah sudah dianggap sebagai anggota.



Motivasi mendirikan tarikat ini adalah meningkatkan ketaatan orang Islam kepada perintah-perintah agama. Pendirinya menganggap masyarakat Jawa dewasa ini mengalami kekosongan agama dan keji­waan. Itulah sebabnya ia mengajak masyarakat Islam agar mening­katkan ketakwaannya kepada Tuhan dengan setiap kali mengucapkan zikir “fafirruu ilallaah”, artinya: “marilah kita kembali ke jalan Allah.”



Begitulah beberapa tarikat dari buku Leksikon Islam 2.



Bantahan terhadap Tarikat



Ulama dan ilmuwan Indonesia yang gigih meluruskan bahkan membantah keras tentang tarekat di antaranya HSA Al-Hamdani dari Pekalongan Jawa Tengah dengan bukunya Bantahan Singkat terhadap Kelantjangan Pembela Tashawuf dan Tarekat, 1972; Sorotan-sorotan terhadap Kitab-kitab Wirid -Dzikir- Hizb Doa dan Sholawat; juga Sanggahan terhadap Tashawuf dan Ahli Shufi dan Sorotan terhadap Kissah Maulid, Nishfu Sya’ban, manakib Sjaich AK Djailany. Sang­gahan lain juga ditulis oleh Drs Yunasril Ali, dengan judul Membersihkan Tashawwuf dari Syirik, Bid’ah, dan Khurafat. Sedang Abdul Qadir Jaelani da’i dari Bogor Jawa Barat menulis bantahan dengan judul Koreksi terhadap Tasawuf. Juga bantahan-batahan yang ditulis dalam tanya jawab, misalnya oleh Ustadz Umar Hubeis dalam kitabnya, Fatawa dll.



Berikut ini kami kutip sebagian bantahan Drs Yunasril Ali, kemudian HSA Al-Hamdany. Sedang bantahan dari kitab-kitab Arab banyak pula, namun karena masalah tarekat ini orang Indonesia juga ikut-ikut mendirikannya (menciptakannya) bahkan mengorgani­sasikannya, maka kami kemukakan bantahan dari ulama dan ilmuwan Indonesia.



Drs Yunasril Ali dalam bukunya Membersihkan Tashawwuf dari Syirik, Bid’ah, dan Khurafat menjelaskan, masing-masing tarekat itu merumuskan amalan-amalannya sendiri-sendiri, sehingga antara satu dengan yang lain saling berbeda cara amaliahnya. Namun demikian amaliah yang berbeda-beda itu semuanya mereka nisbahkan kepada dua sahabat besar: Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar Shid­diq. Entah mana yang benar di antara tarekat-tarekat itu yang berasal dari Ali dan Abu Bakar, wallahu a’lam.



Dasar mereka mendirikan tarekat ialah:



1. Firman Allah SWT:

Artinya: “Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu, benar-benar Kami akan memberi minum mereka dengan air yang segar. ” (QS Al-Jinn/ 72:16).



2.  Firman Allah SWT:

Artinya: “Maka barangsiapa yang ingin berjumpa dengan Allah, hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia memperseku­tukan siapa pun dalam beribadah kepada Tuhan.” (QS Al-Kahfi/ 18:110).



3. Hadits:

Qoola ‘Aliyyubnu Abii Thoolib: Qultu: Yaa Rasuulallaah, ayyut thoriiqoti aqrobu ilallooh? Faqoola Rasuulullaahi SAW: Dzikrul­loohi.



Artinya: Ali bin Abi Thalib berkata: saya bertanya: Ya Rasulal­lah, “Manakah tarekat yang sedekat-dekatnya mencapai Tuhan? Maka Rasulullah SAW menjawab, “dzikir kepada Allah.” (Dr Mustafazahri, Kunci Memahami Tasawwuf, halaman 87, seperti dikutip Drs Yunasril Ali halaman 54).



Koreksi (dari Drs Yunasril Ali): Di dalam Al-Quran didapati kata “thariqah” dan musytaqnya  (pecahan kata yang berasal darinya) di sembilan tempat yaitu:



1. firman Allah SWT:

Artinya: “Mereka berkata: hai kaum kami, sesungguhnya kami men­dengar kitab (Al-Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa, yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.” (QS Al-Ahqaaf/ 46:30).



2. Firman Allah SWT:

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kedhaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa-dosa) mereka dan tidaklah akan menunjukkan jalan kepada mereka.” (QS An-Nisaa/ 4:168).



3.  Firman Allah SWT (sambungan ayat no.2):

Artinya: “Kecuali jalan ke neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS An-Nisaa’/ 4:169).



4. Firman Allah SWT:

Artinya: “Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan, ketika berkata orang yang paling lurus jalannya di antara mereka!” Kamu tidak berdiam (di dunia) melainkan sehari saja.” (QS Thaha/ 20:104).



5. Firman Allah SWT:

Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: “Pergilah kamu dengan hamba-hambaKu (Bani Israel) di malam hari, maka bikinlah untuk mereka [1]jalan[1] yang kering di laut itu, kamu tidak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam).” (QS Thah/ 20:77).



6.  Firman Allah SWT:

Artinya: “Mereka berkata: “Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan kamu yang utama.” (QS Thaha/ 20:63).



7. Firman Allah SWT:

Artinya: “Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu benar-benar Kami akan memberi minum mereka dengan air yang segar.” (QS Al-Jinn/ 72:16).



8. Firman Allah SWT:

Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (tujuh langit); dan Kami tidaklah lengah terha­dap ciptaan (Kami)”. (QS Al-Mu’minuun/ 23:17).



9. Dan Firman Allah SWT:

Artinya: “Dan sesungguhnya di antara Kami ada orang-orang yang shalih dan di antara Kami ada pula orang yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” (QS Al-Jinn/ 72:11).



Demikianlah penulis kutip di sini 9 buah kata “thariqah” dan musytaqnya yang terdapat dalam kitab suci Al-Quran. Tidak satupun yang menunjukkan kepada tarekat yang dipropagandakan oleh penga­nutnya, yang mereka berdzikir tanpa sadar diri dan tidak pula ingat kepada Tuhan lagi.



Untuk lebih jelas, penulis kemukakan arti thoriqoh dalam ayat-ayat di atas dengan mengutipnya dari tafsir-tafsir yang mu’tabar, sebagai berikut:



1. Kata “thariqin” dalam surat al-Ahqaf ayat 30 artinya ialah “Agama Islam” (Al-Qasimy, Tafsir Mahasinut Ta’wil, juz XV hal. 94).

2. Kata “thariqon” dalam surat An-Nisaa’ ayat 168 artinya ialah “satu jalan dari jalan-jalan menuju jahannam”. (Al-Jalalain, Tafsir Al-Quranil Kariem, juz I, hal. 94).

3. Kata “thoriqo jahannam” dalam Surat An-Nisaa’ ayat 169 artinya ialah “jalan yang menyampaikan orang menuju jahannam”. (ibid).

4. Kata “thoriqoh” dalam Surat Thaha ayat 104 artinya ialah “jalan” (ibid, juz II, hal 26). Ada pula ahli tafsir yang mengatakan “jalan yang lurus” di sini ialah orang yang agak lurus pikirannya atau amalnya di antara orang-orang yang berdosa itu.



(Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, note hal. 488).



5. Kata “thoriqon” dalam S Thaha ayat 77 berarti “Allah menger­ingkan bumi sebagai jalan bagi Musa dan kaumnya.” (Al-Jalalain, opcit, juz II, hal. 24).

6. Kata “thoriqoh” dalam S Thaha ayat 63 ada yang mengartikannya dengan “keyakinan (agama)” (Departemen Agama RI, Opcit, hal. 482). Dan ada pula yang menafsirkannya dengan “Bani Israel”. (Az-Zamakhsyary, Tafsir Al-Kassyaf, Jilid II, hal. 543).

7. Kata “thoriqoh” dalam S Al-Jinn ayat 16 artinya “jalan kebena­ran dan keadilan”. (Al-Qasimi, Tafsir Mahasinut Ta’wil, juz XVI, hal. 5950).

8. Kata “thoroiq” dalam surat al-Mu’minun ayat 17 artinya “lan­git”, thoroiq kata jama’ dari thoriqoh, karena dia adalah jalan-jalan malaikat.” (Al-Jalalain, opcit, juz II, hal. 45).

9. Kata “thoroiq” dalam S Al-Jinn ayat 11 artinya “Golongan yang berbeda pendapat di kalangan muslimin dan kafir.” (ibid, hal. 240).



Inilah artinya kata “thoriqoh” dan musytaqnya yang ada dalam Al-Quran. Tidak satupun dari kata-kata itu yang menunjukkan metode ibadah dalam tasawwuf. Memang ada thoriqoh yang berarti golongan-golongan di kalangan kaum muslimin, tetapi maksudnya ialah golongan yang berbeda pendapat dalam menafsirkan Al-Quran dan Al-Hadits. Bukan golongan yang membuat-buat tarekat tertentu yang dihasilkan oleh renungan guru.



Kalaulah benar bahwa yang dimaskud dengan tariqat di dalam ayat-ayat itu ialah penjelasan dari Al-Quran dan As-Sunnah yang secara langsung dituntunkan dan dipraktekkan oleh seorang guru kepada muridnya, seperti menuntun bagaimana cara berdiri betul dalam shalat, bagaimana cara takbir, ruku’, sujud, duduk antara dua sujud, duduk tahiyyat, cara membaca bacaan-bacan shalat, dan lain-lain; sesuai dengan cara yang ditentukan oleh Rasul SAW. kepada para shahabatnya, maka tarekat seperti ini dapat penulis terima, karena tarekat ini adalah sebahagian dari as-sunnah, yang disebut dengan sunnah fi’liyah. Jadi tarekat dalam pengertian seperti ini termasuk sunnah. Dan memang tarekat (sunnah fi’liyah) yang seperti inilah yang disuruh dalam mengajarkan agama. Rasu­lullah SAW pernah membimbing seorang Badwi dalam pelaksanaan shalat, karena orang Badwi tersebut belum tepat cara ia melaksa­nakan shalat. (Lihat Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, al-Muharrar, hal. 42).



Adapun membuat-buat ibadah dengan cara baru, lantas dinamakan tarekat, ini bid’ah. Contohnya ialah seperti mengadakan dzikir lisan, dzikir qolbu dan dzikir sirr; semuanya itu tidak pernah ada diriwayatkan dari Rasul SAW. atau dari para shahabat beliau. Jadi perbuatan ibadat seperti itu adalah bid’ah yang dibuat-buat oleh para penganut tarekat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Padahal agama Islam, baik aqidah maupun tatacara ibadatnya sudah sempurna, tidak usah ditambah-tambah. (Drs Yunasril Ali, Member­sihkan Tasawwuf dari Syirik, Bid’ah, dan Khurafat, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, cet. III 1992, hal. 53-59).



Bantahan terhadap tarekat dalam polemik



Bantahan terhadap tarekat lainnya, bisa disimak polemik antara HSA Al-Hamdani dengan doktor (thabib) Rohani Sjech H Djalaluddin Ketua Umum seumur hidup Pengurus Besar PPTI di Medan.



HSA Al-Hamdani membantah orang yang menjadikan Surat Al-Fajr ayat 28 sebagai landasan tarekat sebagai berikut:



“…Anda (Thabib-Rohani Djamaluddin) antara lain menulis: Arti ma’na Tharekat pada istilah (adalah) perjalanan rohani (nurani, jiwa, hati robani) berjalan mencari Allah. Perjalanan yang bertingkat-tingkat dari satu tingkat demi satu tingkat, hingga ia bertemu Allah. Lihatlah QS al-Fajari ayat no. 28; maksudnya kira-kira: kembali (pergilah, berjalanlah, bertarekatlah kepada Tuhanmu (Allah). Kemudian Anda menulis: Mengingat ayat yang tersebut merupakan amar wajib, tentulah wajib bagi kita ber-Tharekat.”



Komentar HSA Al-Hamdani ulama Al-Irsyad Pekalongan terhadap lawan polemiknya, Thabib Djamaluddin, itu sebagai berikut:



Semoga Allah mengampuni dosa anda (Thabib-Rohani Djamaluddin), karena anda telah menafsirkan ayat Tuhan semau anda sendiri! Bacalah tafsir ayat itu menurut rangkaian ayat sebelum­nya, jangan terus mendabik dada dan berkata: Saya sudah hafal bertahun-tahun di dalam fikiran saya di waktu saya mempertahankan tasawuf di masa silam… dan seterusnya. Jangan anda menafsirkan se-enaknya sendiri, dan jangan pula semau-maunya menta’wilkan arti ayat al-Quran menurut selera yang dikehendaki nafsu anda! Sebab bisa tak keruan dan bisa runyam!

Tahukah anda bahwa ayat itu (yang anda buat dalil perintah ber­tarekat) adalah kelanjutan daripada ayat yang sebelumnya yang berbunyi:



Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah, irji’ii ilaa robbiki roodhiyatam mardhiyyah, fadkhulii fii ‘ibaadii wadkhulii jan­natii.



Yang artinya: Hai jiwa yang tenang (suci). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas (karena amal-amalmu yang baik semasa hidup) lagi diridhoinya (oleh Allah). Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hambaku (yang sholeh) dan masuklah ke dalam sorgaKu. (QS Al-Fajri).



Jelas bahwa khitob (ajakan bicara) itu ditujukan kepada jiwa-jiwa manusia yang sempurna imannya yang muslimin mukminin dan muttaqin pada nanti hari kiamat kelak sebagai penghargaan Allah atas amalan mereka yang baik dan sholeh. Dan kalau ayat itu anda katakan sebagai amar wajib bertarekat, maka wajib bertarekatkah anda pada hari kiamat nanti untuk mencari Allah?



HSA Hamdani melanjutkan tulisannya: Memang orang-orang ahli tharekat atau ahli shufi suka lancang dalam menafsirkan ayat-ayat semaunya sendiri seperti yang anda katakan: “Di Pakistan Barat dikatakan sulukan naksyabandi, unsurnya QS An-Nahl no. 69, mak­sudnya kira-kira: Dan laluilah jalan (Tharekat) Allah dengan patuh. Sedang ayat yang dimaksud artinya sebagai berikut:



Ayat 68 S An-Nahl: Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah: Buatlah rumah di atas bukit dan di atas pohon kayu dan pada apa-apa yang mereka jadikan atap.



Ayat 69: Kemudian makanlah berma­cam-macam buah-buahan dan laluilah jalan Tuhanmu, dengan mudah akan keluar dari dalam perutnya minuman (madu) yang berlain-lainan warnanya, untuk menyembuhkan penyakit manusia. Sesungguh­nya pada yang demikian itu menjadi keterangan (atas kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.



Jelas khitob ayat itu menyatakan bahwa Allah memerintahkan kepada lebah untuk mengikuti ilham yang diberikan oleh Allah kepadanya, sehingga lebah itu dapat menghasilkan madu. Maka oleh anda digunakan untuk dalil tarekat? (HSA Al-Hamdani, bantahan Singkat terhadap Kelantjangan pembela Tashawuf dan Tarekat,



Penerbit HSA Al-Hamdani, Pekalongan, cetakan pertama, 1972, halaman 14-15).



Pertanyaan selanjutnya, pembaca bisa mengajukan sendiri, misalnya: Kenapa tarekat-tarekat yang ternyata tidak ada landa­sannya dari Al-Quran maupun al-Hadits itu justru dihidup-hidup­kan? Dan kenapa justru ada organisasi yang memayungi dengan bentuk organisasi pula seperti tersebut di atas? Tugas para alim



ulama –yang istiqomah mengikuti Al-Quran dan As-Sunnah– lah untuk melanjutkan dakwah terhadap mereka dengan hikmah dan mau­’idhah hasanah, dan kalau perlu dengan wajadilhum, yaitu mendebat mereka dengan hujjah yang lebih baik.

Sabtu, 27 April 2013

Dialektika Sejarah dan Ajaran Nabi Muhammad


Oleh Puji Hartanto

Senin, 2 April 2007
Peringatan kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW sering dijadikan momen untuk membangkitkan kembali moralitas umat Islam yang rapuh. Sejarah mencatat bahwa pahlawan legendaris Islam, Shalahuddin al-Ayyubi, adalah orang yang pertama mengadakan peringatan Maulid Nabi - sebagai salah satu upaya untuk membangkitkan moralitas umat saat perang salib.

    Nabi Muhammad Saw sendiri lahir di kota Mekah pada 12 Rabiul Awal 570 Masehi. Tahun kelahirannya dikenal dengan sebutan Tahun Gajah. Hal itu dikarenakan ada sekelompok tentara berkendaraan gajah yang dipimpin oleh Abrahah - seorang gubernur kerajaan Nasrani Abessinia - yang memasuki kota Mekah untuk menghancurkan Ka'bah. Berkat kekuasaan Allah SWT, tentara gajah itu gagal melakukan misinya.

    Memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad, maka kesadaran profetik menjadi niscaya untuk kita miliki. Sebagai seorang Muslim, sesungguhnya tidak cukup bagi kita untuk hanya mengikuti ajaran-ajaran Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Yang paling utama adalah memahami jejak spiritualitas beliau dalam rangka mencapai kesadaran profetiknya.

    Baiklah, sekadar mempermudah pemahaman atas pembahasan ini, penulis ajukan beberapa pertanyaan. Apakah Muhammad ketika diangkat sebagai nabi dan rasul telah diberi Al-Qur'an? Apakah pencapaian spiritual yang mengagumkan, mempesona, sekaligus membuat merinding bulu kuduknya, pertama kali, ketika beliau dijumpai Jibril di Gua Hira, itu berdasarkan Al-Qur'an? Apakah kehendak dan niat untuk berkehendak dalam bentuk khalwat di Gua Hira itu berdasarkan nash-nash Ilahiah yang pernah beliau dengar dan baca sebelumnya?

    Tentu saja tidak demikian. Itulah sebabnya, kita bisa mengatakan bahwa tanpa Al-Qur'an dan hadis pun seseorang akan mampu mencapai kedalaman dan keagungan spiritual. Dikatakan demikian, karena Ahmad Wahib dalam bukunya Pergolakan Pemikiran Islam bahwa sumber-sumber pokok untuk mengetahui Islam atau bahan ajaran Islam, bukanlah Al-Qur'an dan hadis, melainkan sejarah Muhammad. Karena Al-Qur'an dan hadist adalah bagian dari sejarah Muhammad yang merupakan kata-kata dan perilaku Muhammad itu sendiri.

    Di sinilah, diakui atau tidak, hingga saat ini kebanyakan umat Islam hanya memegang teguh ajaran-ajaran Rasulullah saja. Sebaliknya, mereka tidak mencoba untuk menjadi Rasulullah itu sendiri. Akibatnya, pemaksaan pemahaman bahwa keberbedaan dalam memahami ajaran Muhammad menjadi sesuatu yang wajar dan lumrah. Pemahaman yang demikian ini kemudian ditambah lagi dengan menggantungkan diri pada statemen bahwa perbedaan adalah rahmat bagi kita.

    Oleh karena perbedaan adalah rahmat, kita serasa semakin tidak peduli bahwa ternyata keberbedaan di tengah-tengah umat justru telah melahirkan bentuk-bentuk kezaliman, ketidakadilan, penindasan dan padanan kata lainnya. Selama ini kita dihibur dengan statemen demikian ini, sambil kedua bola mata kita menyaksikan secara terus-menerus bagaimana sesama umat saling menuduh, memfitnah, mencemooh, memaki, mengklaim siapa yang benar dan yang salah, siapa yang tersesat dan siapa yang menyesatkan, dan seterusnya.

    Ajaran Muhammad yang sesungguhnya teramat mulia, akhirnya menjadi pedang bermata dua, justru oleh kelakuan umatnya sendiri.

    Tak pelak lagi, keterbatasan kita dalam memahami dunia Muhammad menjadikannya sebagai sebuah dunia profetis atau ketidakberdayaan kita untuk mengikuti tindakan dan perilaku Muhammad. Dengan kata lain, selama ini kita lebih terbiasa mengikuti ajaran Muhammad (yang terkadang secara salah), bukan mengikuti Muhammad itu sendiri.

    Oleh karena itu, menjadi Rasulullah berarti dengan sendirinya kita mengikuti proses yang ditempuh oleh Rasulullah Saw, baik sebelum beliau menjadi seorang nabi dan utusan Allah, maupun setelah beliau menjadi nabi dan utusan-Nya.

    Analog dari pernyataan itu adalah ketika kita hanya sebatas mengikuti ajaran Muhammad (pesan-pesan illahiah yang beliau dapat setelah menjadi nabi dan rasul), maka selama itu pula kita tidak akan mampu menjadi Muhammad. Kita tidak akan mampu mendapatkan wahyu illahi, dan akhirnya, kita tidak akan pernah mengalami kelezatan-kelezatan spiritual sebagaimana nabi mendapatkannya. Karena, kita (umat Islam) hanya mengikuti ajaran Muhammad saja.

    Dengan demikian, Muhammad dengan ajaran Muhammad adalah membedakan antara perjalanan ruhiah Muhammad sebelum beliau mendapatkan pencerahan Illahi (yakni momentum beliau diutus menjadi seorang nabi dan rasul). Oleh karena itulah, umat Islam setidaknya diharuskan untuk terus berusaha menguak falsafah hidup Muhammad, sebelum beliau diangkat menjadi seorang nabi dan rasul, yang dengan cara demikian umat Islam akan mendapati falsafah hidupnya sesuai dengan falsafah hidup Muhammad.

    Sebab, diyakini bahwa kita semua sesungguhnya mempunyai potensi yang sama untuk mencapai apa yang dicapai Muhammad, terkecuali masalah kenabian dan kerasulannya.

    Namun juga harus diingat bahwa penghadiran ruh profetis dengan mengikuti pola sejarah Muhammad tanpa mengikuti ajaran-ajaran Muhammad juga akan memerosokkan kita ke dalam jurang mistis. Maka yang harus dilakukan adalah memadukan antara keduanya, memadukan antara Islam esoteris dengan eksoteris, memadukan antara Islam inklusif dengan eksklusif, memadukan antara kebenaran dan kehadiran.

    Kebenaran sebagai misi komitmen religiusitas umat Islam harus menjadi pegangan bagi setiap Muslim, tetapi kehadiran (Tuhan) dalam diri setiap Muslim menjadi keharusan dalam berkomitmen terhadap kebenaran. Dengan kebenaran, jiwa akan mengetahui, memahami, dan menyadari betapa penting menghindari setiap kecenderungan yang negatif. Dengan kehadiran itu, maka pengetahuan, pemahaman dan kesadaran akan kebenaran menjadi pengalaman impersonal yang indah, membahagiakan dan penuh inspirasi.

    Akhirnya, momentum peringatan Maulid Nabi Muhammad kali kita dapat mengambil saripati sejarah Muhammad sebagai sebuah "ibrah" atau gambaran perjalanan menuju Allah SWT. Lewat cara itu, maka kita akan mampu menghadirkan "ruh" profetis Nabi dalam diri kita.***

    Penulis adalah asisten Program Pengembangan Kepribadian
    Integral Berkelanjutan (P2KIB) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Citra Perempuan di Jagat Iklan




Judul Buku: Manipulasi dan Dehumanisasi dalam Iklan
Penulis: Kasiyan
Penerbit: Ombak, Yogyakarta
Cetakan: I, 2008
Tebal: 402 halaman

Karena keindahannya, perempuan sering ditampilkan dalam iklan --meski kehadirannya terkadang agak diada-adakan. Karena keindahannya pula, untuk iklan produk yang bobot kehadiran tokohnya sama, antara laki-laki dan perempuan, biasanya perempuanlah yang dipilih. Antara lain juga karena keindahannya, perempuan sering menjadi inspirasi, termasuk dalam melahirkan suatu produk. Alhasil, atribut atau sikap yang mencirikan ke-perempuan-nan, sebagai potensi kodrati perempuan, kini justru kian menjadi aset dalam serangkaian produksi dan pasar industri kebudayaan bernama iklan.

Dari suasana jagat periklanan yang demikian itulah buku berjudul Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan yang ditulis oleh Kasiyan ini hadir. Dengan kata lain, buku yang membahas masalah iklan ini ditulis bukan karena iklan pada dirinya, melainkan pada kekuatannya dalam memperkenalkan kode-kode yang sering justru bertentangan dengan prinsip-prinsip seperti persamaan. Sang penulis menuturkan iklan yang menggunakan perempuan sebagai pendukung sebenarnya tidak perlu kita permasalahkan sejauh tidak melanggar kaidah-kaidah yang disepakati oleh pelaku industri periklanan dan masyarakat (lewat pemerintah).

Keprihatinan mulai muncul ketika sarana yang dipakai untuk beriklan hanyalah perempuan (hlm. 19). Sebab, dari sini, perempuan kemudian dijadikan sebagai komoditas dan secara terbuka tersedia di tatanan kapitalis. Dan iklan dianggap sebagai pengukuhan keinginan dan mimpi masyarakat karena, dalam memajukan kapitalisme, obyek tidak hanya memiliki nilai guna tapi juga nilai tukar.

Semua kemudian dinilai dari penampilannya dan bukan dari kegunaannya. Penampilan sama dengan ilusi estetik yang kemudian memanfaatkan ilusi yang merangsang secara seksual untuk mempertahankan gaya sensual. Maka atas itu semua, dalam etalase budaya sesungguhnya telah berlangsung pengjungkirbalikan dimensi mistikal dari feminitas, yaitu melalui trik-trik iklan yang memang dirancang untuk memancing imajinasi, misalnya lewat desahan suara (iklan kacang kering), kemilau kulit (iklan bedak atau sabun mandi), dan lain-lain.

Setidaknya ada lima citra yang dengan itu perempuan dijadikan obyek iklan, yaitu sebagai citra pigura, pilar, peraduan, pinggan, dan pergaulan. Dalam citra pigura, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang harus memikat. Untuk itu, ia harus menonjolkan ciri biologis tertentu, seperti buah dada, pinggul, dan seterusnya, maupun ciri kewanitaan yang dibentuk budaya, seperti rambut panjang, betis ramping mulus, dan sebagainya. Contohnya dalam iklan alat kecantikan atau pakaian.

Sedangkan pada citra pilar, perempuan digambarkan sebagai pengurus utama keluarga. Pengertian budaya yang dikandungnya adalah bahwa lelaki dan perempuan itu sederajat, tapi kodratnya berbeda. Karena itulah wilayah kegiatan dan tanggung jawabnya berbeda pula. Contoh penggambaran perempuan bercitra pilar ini bisa kita temukan pada iklan Aqua: “Melindungi Anda Sekeluarga.”

Citra peraduan menganggap perempuan adalah obyek pemuasan laki-laki, khususnya pemuasan seksual. Sehingga seluruh kecantikan perempuan, baik kecantikan alamiah maupun buatan (melalui komestik), disediakan untuk dikonsumsi laki-laki melalui kegiatan komsumtif, misalnya rabaan lembut atas rambut yang telah di cuci dengan sampo tertentu dan lain sebagainya.

Untuk citra pinggan, digambarkan bahwa betapapun tingginya perempuan dalam memperoleh gelar pendidikan dan sebesar apa pun penghasilannya, kewajibannya adalah di dapur. Tapi berkat teknologi kegiatan di dapur itu tidak lagi berat dan membosankan. Sebab telah ada kompor gas, mesin cuci, bahan masakan instant, dan lain sebagainya. Dengan cara ini, iklan menawarkan produk tertentu untuk para istri. Setelah meyakinkan bahwa kegiatan di dapur tidak harus menyiksa, tapi justru bisa menyenangkan, lebih jauh diingatkan bahwa para suami lebih suka masakan istri. Contohnya adalah iklan produk masak bumbu dari Indofood.

Terakhir dalam citra pergaulan, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang selalu khawatir tidak tampil memikat dan menawan, tidak presentable atau acceptable. Untuk dapat diterima, perempuan perlu physically presentable. Bentuk dan lekuk tubuh, aksentuasi bagian-bagian tertentu dengan menggunakan komestik dan aksesoris yang selaras sehingga seorang perempuan bisa anggun menawan, mengundang pesona, dan unggah-ungguh fisik perlu dijaga sedemikian rupa agar menarik dan tidak membawa implikasi rendah diri di arena pergaulan luas.

Contoh-contoh itu menunjukkan bahwa mitos perempuan telah dimanfaatkan bersamaan dengan meningkatnya profesionalisme di kalangan pengiklan. Mereka berkilah bahwa perempuan lebih efektif untuk merebut perhatian khalayak sasaran. Mereka kemudian tidak peduli bahwa apa yang mereka lakukan sesungguhnya adalah proses dehumanisasi perempuan yang pada akhirnya akan benar-benar merendahkan martabat perempuan.

Tetapi memang demikian itulah yang terjadi pada diri perempuan. Nasib mereka dalam iklan barangkali akan selalu sejalan dengan nasibnya dalam masyarakat. Semakin masyarakat hipokrit dan patriarkis, semakin kuat pula perempuan menjadi simbol represi, dan pada gilirannya perempuan akan semakin diburu oleh industri periklanan.

Persoalan-persoalan tersebut, oleh Kasiyan, dibahas dalam bukunya ini, terutama pada Bagian Keempat, di mana ia dengan sangat bagus mempresentasikan hasil penelitiaannya, yang ia lakukan terutama pada iklan-iklan di majalah Femina dan Matra. Selain itu, buku ini juga dilengkapi dengan berbagai informasi umum terkait dengan ketidakadilan gender serta industri periklanan.

Melihat isinya, kiranya sangat relevan jika buku ini wajib dibaca oleh para pemerhati sosial budaya seperti para aktivis gender dan lain sebagainya.

Puji Hartanto
  • Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
  • Buku Satu Dusun Tiga Masjid Anomali Ideologisasi Agama dalam Agama

    Fenomena Ekspresi Keberagamaan Islam Lokal
    Satu Dusun Tiga Masjid Anomali Ideologisasi Agama dalam Agama
    Kamis, 10/05/2007 18:23

    Tags:

    Space Iklan
    300 x 80 Pixel
    Penulis: Ahmad Salehudin, Penerbit: Pilar Media, Yogyakarta, Cetakan: 1, Maret 2007, Tebal: xxiv + 132 Halaman, Peresensi: Puji Hartanto*

    Dalam sejarah manusia seluruh dunia dan pada setiap zaman, agama adalah sesuatu yang terus mengalami perubahan. Hal demikian ini dikarenakan agama tidaklah lahir dari sebuah realitas yang hampa, tetapi ia (agama) hadir dalam masyarakat yang telah mempunyai nilai-nilai. Pertemuan antara Islam dan budaya Indonesia yang notabene mempuyai budaya dan kultur yang berlainan antar suku bangsa misalnya, telah menjadikan Islam Indonesia mempunyai banyak wajah.

    Ini tercermin dari beragamnya organisasi sosial-keagamaan seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU), Dewan Dakwah Islamiyah (DDII), Lembaga Dakwah Islam Indonesia (Islam Tauhid), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan lain sebagainya yang merupakan bukti dari banyaknya wajah atau lebih tepatnya ekspresi keberagamaan keislamanan masyarakat Indonesia. Beragamnya ekspresi keberagamaan tersebut menurut Geertz (1960) dipengaruhi oleh proses panjang pertemuan Islam dengan budaya lokal yang heterogen.
    Buku dengan judul Satu Dusun Tiga Masjid Anomali Ideologisasi Agama dalam Agama yang di tulis oleh Ahmad Salehudin ini adalah buku dari hasil penelitaannya yang di fokuskan pada masyarakat Gunung Sari. Dalam penelitiannya ini Salehudin mencoba melihat agama yang bekerja dalam masyarakat atau memahami ekspresi keberagamaan masyarakat dan interaksi sosial keagamaan dengan mempertimbangkan pola konstruksi sosial keberagamaannya. Hasilnya, ditemukan sebuah wajah agama baru berdasarkan tiga tipologi hubungan agama dan budaya lokal, yaitu sinkretis, akulturatif, dan pribumisasi.
    Dari ketiga macam paradigmatik itulah kiranya semakin memperjelas kepada kita bahwa terdapat kecenderungan tentang bagaimana cara masyarakat mengkonstruksi agama (Islam) berdasarkan letak geografis dan pemahaman keagamaan yang dipengaruhi oleh tradisi lokal yang pada gilirannya telah melahirkan bermacam ekspresi keagamaan yang unik baik secara pemikiran, ritual, dan persekutuan antara pemeluk yang satu dengan yang lainnya. Fenomena ekspresi keagamaan masyarakat Gunung Sari sebagaimana diuraikan dalam buku ini adalah bukti riil dari keunikan yang di maksud.
    Gunung Sari adalah daerah yang secara goegrafis terletak cukup dekat dengan pusat keagamaan di Yogyakarta, yaitu berjarak sekitar 19 km dari Kauman sebagai pusat Muhammadiyah, sekitar 25 km dari pondok Krapyak, Bantul sebagai pusat penyebaran NU, dan sekitar 60 Km dari pusat penyebaran Islam Tauhid yaitu daerah Degan, Kulonprogo. Sedangkan secara budaya, wilayah Gunung Sari juga cukup dekat dengan Kraton Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa, serta beberapa obyek wisata sosial-relegius seperti candi Prambanan sebagai simbol Hindhu, candi Borobudur dan Mendut sebagai simbol agama Budha.
    Dengan posisi yang demikian itu, maka Gunung Sari merupakan medan interaksi antara NU, Muhammadiyah, Islam Tauhid dan budaya Jawa serta pemikiran-pemikiran keagamaan lain yang diderivasi dari budaya Jawa. Oleh karena sebagai medan  interaksi, maka perbedaan pemahaman keislamannya pun mengalami perbedaan. Perbedaan paham keislaman ini menyebabkan setiap rombongan keagamaan berada pada posisi saling berhadapan secara diametral (hal 52). Mereka seringkali saling menyalahkan, saling bertahan, dan bahkan saling menyerang. Polarisasi dan pengidentifikasian diri ini berlangsung secara terus menerus, dan diwariskan dari generasi kegenerasi berikutnya.
    Dari sini yang terjadi kemudian adalah pembatasan antara kelompok NU, Muhammadiyah dan Islam Tauhid. Pemetaan tersebut juga semakin nampak dengan keberadaan masjid-masjid sebagai identitas kelompoknya. Sebut saja misalnya Masjid Zuhud sebagai Masjidnya Islam Tauhid, masjid Miftahul Huda sebagai masjidnya orang NU, dan masjid Ikhlas sebagai masjidnya orang Muhammadiyah. Dan inilah yang oleh penulis buku ini disebut dengan istilah satu dusun tiga masjid.
    Sejarah Islam di Indonesia
    Setidaknya ada empat teori yang menjelaskan mengenai sejarah kedatangan Islam ke Indonesia . Pertama, Islam datang dari anak benua India yaitu Gujarat dan Malabar. Kedua, Islam datang dari Bengal , seperti yang telah diungkapkan oleh SQ Fatimi. Ketiga, Islam datang ke Indonesia melalui Colomader dan Malabar. Dan keempat, sebagaimana yang di ungkapkan oleh Naquib al-Attas bahwa Islam datang dari sumber aslinya yaitu Arab. Dalam hal ini, adalah Azumarzi Azra (1994) yang mengatakan bahwa mungkin saja Islam yang datang ke Indonesia adalah Islam Arab, tetapi tentu saja Islam yang berdasarkan atas interpretasi dari para pembawanya.
    Dari berbagai macam teori diatas, maka atas beragamnya wajah Islam di Indonesia ini setidaknya adalah dari hasil proses panjang pertemuan Islam dengan budaya lokal yang heterogen. Dengan kata lain, Islam di Jawa merupakan hasil dari pertemuan Islam dengan local javanese religion, Hinduisme dan Budhisme yang hidup secara bersamaan. Oleh karena itulah, melihat Islam Indonesia sebagai suatu kebulatan adalah sesuatu yang mustahil. Hal ini disebabkan oleh persepsi dari individu-individu pemeluknya mengenai apa yang mereka pahami sebagai realitas mutlak (ultimate reality).
    Yang perlu di garis bawahi adalah bahwa agama sebagai bagian dari sistem budaya, keberadaannya senantiasa akan selalu bergerak secara dinamis, sehingga dalam kurun waktu tertentu wajah agama akan senantiasa berubah tergantung pada bagaimana individu atau kelompok memahaminya. Maka cara  yang paling bijaksana dalam kita melihat berbagai perbedaan cara mengekspresikan keberagamaan adalah dengan tidak menganggap salah terhadap individu-individu atau kelompok-kelompok keagamaan, tetapi sebuah kebenaran-kebenaran atas dasar rasionalitas yang berbeda.
    Sekali lagi, bahwa buku dengan judul satu dusun tiga masjid Anomali Ideologisasi Agama dalam Agama ini adalah hasil dari penelitian secara terperinci yang menyoroti konsep kebenaran dalam beragama sebagaimana yang telah dipahami oleh masyarakat. Oleh karena itu, hadirnya buku ini ditengah-tengah kita semoga dapat memberikan keluasan cakrawala dalam berpikir ditengah beragamnya ekspresi keberagamaan masyarakat, sehingga tumbuh dalam diri kita sebuah kearifan dalam menyikapi keragaman yang ada. 
    Peresensi adalah pecinta buku, Asisten pada Program Pengembangan Kepribadian Integral Berkelanjutan (P2KIB) UIN Sunan Kalijaga

    Al Qur'an On Line