Oleh Puji Hartanto
Senin, 2 April 2007
Peringatan kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW sering
dijadikan momen untuk membangkitkan kembali moralitas umat Islam yang rapuh.
Sejarah mencatat bahwa pahlawan legendaris Islam, Shalahuddin al-Ayyubi, adalah
orang yang pertama mengadakan peringatan Maulid Nabi - sebagai salah satu upaya
untuk membangkitkan moralitas umat saat perang salib.
Nabi Muhammad Saw
sendiri lahir di kota Mekah pada 12 Rabiul Awal 570 Masehi. Tahun kelahirannya
dikenal dengan sebutan Tahun Gajah. Hal itu dikarenakan ada sekelompok tentara
berkendaraan gajah yang dipimpin oleh Abrahah - seorang gubernur kerajaan
Nasrani Abessinia - yang memasuki kota Mekah untuk menghancurkan Ka'bah. Berkat
kekuasaan Allah SWT, tentara gajah itu gagal melakukan misinya.
Memperingati hari
kelahiran Nabi Muhammad, maka kesadaran profetik menjadi niscaya untuk kita
miliki. Sebagai seorang Muslim, sesungguhnya tidak cukup bagi kita untuk hanya
mengikuti ajaran-ajaran Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Yang paling utama
adalah memahami jejak spiritualitas beliau dalam rangka mencapai kesadaran
profetiknya.
Baiklah, sekadar
mempermudah pemahaman atas pembahasan ini, penulis ajukan beberapa pertanyaan.
Apakah Muhammad ketika diangkat sebagai nabi dan rasul telah diberi Al-Qur'an?
Apakah pencapaian spiritual yang mengagumkan, mempesona, sekaligus membuat
merinding bulu kuduknya, pertama kali, ketika beliau dijumpai Jibril di Gua
Hira, itu berdasarkan Al-Qur'an? Apakah kehendak dan niat untuk berkehendak dalam
bentuk khalwat di Gua Hira itu berdasarkan nash-nash Ilahiah yang pernah beliau
dengar dan baca sebelumnya?
Tentu saja tidak
demikian. Itulah sebabnya, kita bisa mengatakan bahwa tanpa Al-Qur'an dan hadis
pun seseorang akan mampu mencapai kedalaman dan keagungan spiritual. Dikatakan
demikian, karena Ahmad Wahib dalam bukunya Pergolakan Pemikiran Islam bahwa
sumber-sumber pokok untuk mengetahui Islam atau bahan ajaran Islam, bukanlah
Al-Qur'an dan hadis, melainkan sejarah Muhammad. Karena Al-Qur'an dan hadist
adalah bagian dari sejarah Muhammad yang merupakan kata-kata dan perilaku
Muhammad itu sendiri.
Di sinilah, diakui
atau tidak, hingga saat ini kebanyakan umat Islam hanya memegang teguh
ajaran-ajaran Rasulullah saja. Sebaliknya, mereka tidak mencoba untuk menjadi
Rasulullah itu sendiri. Akibatnya, pemaksaan pemahaman bahwa keberbedaan dalam
memahami ajaran Muhammad menjadi sesuatu yang wajar dan lumrah. Pemahaman yang
demikian ini kemudian ditambah lagi dengan menggantungkan diri pada statemen
bahwa perbedaan adalah rahmat bagi kita.
Oleh karena
perbedaan adalah rahmat, kita serasa semakin tidak peduli bahwa ternyata
keberbedaan di tengah-tengah umat justru telah melahirkan bentuk-bentuk
kezaliman, ketidakadilan, penindasan dan padanan kata lainnya. Selama ini kita
dihibur dengan statemen demikian ini, sambil kedua bola mata kita menyaksikan
secara terus-menerus bagaimana sesama umat saling menuduh, memfitnah,
mencemooh, memaki, mengklaim siapa yang benar dan yang salah, siapa yang tersesat
dan siapa yang menyesatkan, dan seterusnya.
Ajaran Muhammad
yang sesungguhnya teramat mulia, akhirnya menjadi pedang bermata dua, justru
oleh kelakuan umatnya sendiri.
Tak pelak lagi,
keterbatasan kita dalam memahami dunia Muhammad menjadikannya sebagai sebuah
dunia profetis atau ketidakberdayaan kita untuk mengikuti tindakan dan perilaku
Muhammad. Dengan kata lain, selama ini kita lebih terbiasa mengikuti ajaran Muhammad
(yang terkadang secara salah), bukan mengikuti Muhammad itu sendiri.
Oleh karena itu,
menjadi Rasulullah berarti dengan sendirinya kita mengikuti proses yang
ditempuh oleh Rasulullah Saw, baik sebelum beliau menjadi seorang nabi dan
utusan Allah, maupun setelah beliau menjadi nabi dan utusan-Nya.
Analog dari
pernyataan itu adalah ketika kita hanya sebatas mengikuti ajaran Muhammad
(pesan-pesan illahiah yang beliau dapat setelah menjadi nabi dan rasul), maka
selama itu pula kita tidak akan mampu menjadi Muhammad. Kita tidak akan mampu
mendapatkan wahyu illahi, dan akhirnya, kita tidak akan pernah mengalami
kelezatan-kelezatan spiritual sebagaimana nabi mendapatkannya. Karena, kita
(umat Islam) hanya mengikuti ajaran Muhammad saja.
Dengan demikian,
Muhammad dengan ajaran Muhammad adalah membedakan antara perjalanan ruhiah
Muhammad sebelum beliau mendapatkan pencerahan Illahi (yakni momentum beliau
diutus menjadi seorang nabi dan rasul). Oleh karena itulah, umat Islam
setidaknya diharuskan untuk terus berusaha menguak falsafah hidup Muhammad,
sebelum beliau diangkat menjadi seorang nabi dan rasul, yang dengan cara
demikian umat Islam akan mendapati falsafah hidupnya sesuai dengan falsafah
hidup Muhammad.
Sebab, diyakini
bahwa kita semua sesungguhnya mempunyai potensi yang sama untuk mencapai apa
yang dicapai Muhammad, terkecuali masalah kenabian dan kerasulannya.
Namun juga harus
diingat bahwa penghadiran ruh profetis dengan mengikuti pola sejarah Muhammad
tanpa mengikuti ajaran-ajaran Muhammad juga akan memerosokkan kita ke dalam
jurang mistis. Maka yang harus dilakukan adalah memadukan antara keduanya,
memadukan antara Islam esoteris dengan eksoteris, memadukan antara Islam
inklusif dengan eksklusif, memadukan antara kebenaran dan kehadiran.
Kebenaran sebagai
misi komitmen religiusitas umat Islam harus menjadi pegangan bagi setiap
Muslim, tetapi kehadiran (Tuhan) dalam diri setiap Muslim menjadi keharusan
dalam berkomitmen terhadap kebenaran. Dengan kebenaran, jiwa akan mengetahui,
memahami, dan menyadari betapa penting menghindari setiap kecenderungan yang
negatif. Dengan kehadiran itu, maka pengetahuan, pemahaman dan kesadaran akan
kebenaran menjadi pengalaman impersonal yang indah, membahagiakan dan penuh
inspirasi.
Akhirnya, momentum
peringatan Maulid Nabi Muhammad kali kita dapat mengambil saripati sejarah
Muhammad sebagai sebuah "ibrah" atau gambaran perjalanan menuju Allah
SWT. Lewat cara itu, maka kita akan mampu menghadirkan "ruh" profetis
Nabi dalam diri kita.***
Penulis adalah
asisten Program Pengembangan Kepribadian
Integral
Berkelanjutan (P2KIB) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar