Cari Entry Blog Ini

Sabtu, 27 April 2013

Menimbang Kaum Muda Memimpin


Penulis: Puji Hartanto (Pemerhati Masalah Sosial Politik. Aktif di Institut of Religion for Peace Yogyakarta.)

KAUM muda adalah kata yang kini banyak disebut, terutama dalam melihat profil alternatif kepemimpinan bangsa. Pengamat seperti Faisal Basri, memandang bahwa kaum muda dianggap akan selalu punya ide, keberanian dan imajinasi yang lebih baik dibandingkan dengan para kaum tua yang dianggap pikirannya terbelakang, kurang berani, dan kurang menyukai pemikiran alternatif. Kaum muda dengan demikian dianggap sebagai yang memiliki kekuatan strategis, kapasitas dan kapabilitas unik dan hanya satu-satunya yang diperlukan untuk mendobrak kesalahan di dalam sistem yang telah mapan dan statis.

Harus kita akui bahwa di tengah kebuntuan politik yang terjadi dewasa ini, maka penting untuk terjadinya peremajaan dalam kepemimpinan politik di negeri kita. Kalau tidak, maka, meminjam istilah Ulil Abshar Abdalla (2oo8), kita akan terjerembab ke dalam “gerontokrasi”, yakni kepemimpinan orang-orang tua yang, memang, umumnya bijaksana tetapi, terus terang, sudah kekurangan sentuhan dengan perkembangan dan gerak nadi sejarah. Apalagi, jumlah pemimpin tua hingga dewasa ini kian terlampau besar. Berjejalan di saluran birokrasi dan bahkan di tengah gerakan muda itu sendiri.

Namun demikian, upaya kaum muda untuk ambil posisi strategis di ranah publik sebagaimana yang kini diduduki kaum tua tidaklah begitu mudah. Terlebih para generasi tua itu rata-rata telah terikat oleh budaya dan tradisi feodal. Memang tidak semua tata nilai yang terkandung dalam budaya feodalisme itu buruk dan oleh karenanya harus kita jauhi. Feodalisme mensyaratkan pemahaman bahwa seorang yang ahli di bidang profesinya, tentu akan mampu menduduki jabatan tertinggi dan dengan begitu, tingkat budayanya juga semakin tinggi.

Hukum feodal menyatakan bahwa siapa yang meningkat taraf budayanya, maka akan meningkat pula taraf kuasanya, dan dengan sendirinya akan meningkat taraf penghasilannya. Oleh karena itu, dalam masyarakat feodal, tidak akan pernah ditemukan seorang pejabat mulai tingkat desa sampai ke istana yang miskin. Tata nilai feodal sudah teramat jelas bahwa siapa punya keahlian baik melalui pendidikan formal ataupun otodidak, maka ia akan mampu menduduki jabatan-jabatan tinggi di bidangnya. Dengan demikian akan terdapat kesejajaran antara tingkat pendidikan budaya (professional) dengan tingkat kuasa dan ekonominya.

Celakanya, yang terjadi sekarang adalah feodalisme terbalik. Dalam artian, bahwa feodalisme yang kini banyak ditiru adalah pada tingkatan kuasa dan kekayaannya saja. Kalau dulu, di jaman yang benar-benar feodal, orang masih memiliki rasa tahu diri bahwa jika dirinya tingkat budayanya tidak sampai pada taraf tertentu, maka dia tidak akan pernah bermimpi untuk menjadi pejabat istana. Atau katakanlah kalau taraf keahlian saya tidak sampai setinggi itu, tentu saya tidak mimpi menjadi patih raja. Tetapi sekarang?

Berbalik dengan contoh di atas, kini kita justru menyaksikan banyak orang  yang, maaf, berperilaku nekad. Mereka sesungguhnya sadar bahwa kapasitasnya bukanlah menjabat sebagai bupati, apalagi kepala negara. Tetapi, ambisinya tetap kuat menjadi bupati atau bahkan kepala negara sekalipun. Parahnya lagi, jumlah pemimpin yang seperti itu kini terlampau besar dan rata-rata sudah tua. Pandangan mereka selalu saja sama, yakni pandangan tentang perubahan yang serba linier, melihat ujung persoalan kebangsaan dalam tataran kelembagaan dan selalu membawa harapan palsu tentang perubahan. Imajinasi tentang masyarakat masa depan pun terasa kering serta sederhana. Mereka selalu mengatakan pendidikan gratis, kesehatan murah, ternyata hanya sebuah slogan atau bahkan bualan yang tidak mempunyai daya ungkit.

Dan lagi, kepemimpinan mereka muncul oleh karena kekuatan dana serta publikasi media. Walhasil, dana yang besar telah menjadi syarat pokok ketika seseorang mencalonkan diri menjadi pemimpin. Kita pun kemudian menyaksikan kader-kader pemimpin dari kasta pengusaha. Kasta yang jumlahnya terus naik secara signifikan. Cocoklah demokrasi yang mempersyaratkan kelas menengah yang kuat dan pertumbuhan ekonomi yang melimpah. Pengusaha menjadi golongan yang paling berpeluang memegang mahkota. Pujian dan harapan dialamatkan kepada mereka. Kita seakan-akan tidak membaca sejarah ekonomi rezim Orba yang memunculkan banyak usahawan kroni.

Melihat kondisi sebagaimana di atas itulah,  menjadi tidak relevan lagi jika kepemimpinan nasional hanya berputar-putar kepada manusia itu-itu juga. Bila tokoh-tokoh lama berusaha terus bertahan pada posisinya, sudah bisa dipastikan kesempatan bagi kaum muda untuk menjadi pemimpin bangsa menjadi tertutup. Maka terobosan baru harus segera ditempuh. Oleh karena itu, yang dibutuhkan sekarang adalah kesadaran bagi generasi tua untuk mau memberi kesempatan generasi muda supaya ikut berperan aktif dalam politik dengan gagasan yang lebih segar dan progresif yang pada akhirnya mampu membawa Indonesia menuju kesejahteraan, keadilan dan kedaulatan.

Kriteria pemimpin yang dibutuhkan bangsa saat ini adalah yang memiliki ideologi jelas. Yaitu sistem politik, demokrasi dan ekonomi yang berpihak kepada rakyat. Saat ini ideologi tersebut belum dapat dilaksanakan dengan baik. Malahan persoalan kian bertambah runcing. Kemiskinan memicu kriminalitas. Korupsi membawa ketidakadilan. Militerisme membawa serangkaian pembunuhan pada rakyat. Dan repotnya, pemerintah tidak memiliki jalan keluar yang cepat, cerdik dan mampu diterapkan.

Berangkat dari kondisi semacam itu, sekali lagi sudah saatnya kaum muda diberi kesempatan untuk memimpin bangsa. Sebab kalau orang yang bermasalah pada masa lalu terus ada di panggung nasional maka bangsa kita akan terbelenggu oleh kesalahan mereka. Sehingga krisis multidimensi yang kini melanda Indonesia tidak kian terobati. Majunya kaum muda itu sendiri diharapkan mampu memberikan solusi atas kebuntuan yang terjadi akibat menurunnya kreativitas dan hilangnya daya inovasi dari rezim yang telah renta dan kelelahan. Dengan kata lain, kaum muda adalah potensi dasar dari lahirnya sebuah warna baru kepemimpinan. (*)

Tidak ada komentar:

Al Qur'an On Line