Cari Entry Blog Ini

Sabtu, 27 April 2013

TRADISI MENULIS POPULER DI PONDOK PESANTREN HASYIM ASY’ARI YOGYAKARTA

Oleh: Nurul Huda SA

Abstrak

Sebagai lembaga pendidikan yang belum mapan secara kelembagaan maupun finansial, Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari telah mampu menemukan karakter paling menonjol yang dapat di “pasarkan” kepada masyarakat, terutama dalam mencipta penulis-penulis muda potensial, produktif. Pondok pesantren Hasyim Asy’ari telah menjadi pioner tipologis Pondok Pesantren Mahasiswa yang sangat konsen pada dunia berkarya tulis.
Tidak heran jika banyak penulis sukses yang singgah di pesantren Hasyim Asy’ari, yang kemudian membuat khalaqah (diskusi) berbagi pengalaman, terutama
proses pengalaman hidup dan proses kreatif menjadi penulis. Selain itu, tradisi silaturrahim (berkunjung) ke rumah penulis-penulis sukses juga menjadi ciri khas sendiri di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari. Mereka secara rutin setiap hari minggu bersilaturrahim keliling ke rumah penulis-penulis di Yogyakarta dengan mengendarai sepeda onthel.

Kata Kunci: Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Kyai, dan Tradisi menulis.

A. Pendahuluan

Pesantren adalah kampung peradaban yang didambakan setiap orang.
Pondok pesantren secara berkesinambungan memproduksi ulama dengan keintelektualan yang khas.
Pesantren terbukti telah mampu memproduksi kader dalam jumlah besar yang pada akhirnya tampil sebagai lokomotif perubahan dan keterbukaan di Indonesia.
Kemampuan pesantren membangun peradaban tidak bisa dilepaskan dari kiai dengan segala pemikiran dan karyanya sebagai tulang punggung pesantren. Peradaban agung merupakan barokah kiai yang tanpa lelah membangun pesantren, mengembangkan masyarakat, dan merawat tradisi intelektual-keilmuwan yang mutawatir dari generasi ke generasi melalui transmisi kitab kuning.
Melalui khazanah khas (genuine) dunia pesantren yang disebut kitab kuning, para kiai mampu menggerakkan bahkan menentukan laju perubahan zaman. Para kiai dengan kreatif menyelami dan mendalami gerak kehidupan yang dipahatkan dalam karya-karya tulis yang mengagumkan. Warisan kitab-kitab kuning selalu dikreasi untuk terus melaju dengan tantangan zaman. Kreasi tersebut berbentuk aneka ragam, mulai dari
kitab syarah, khulashah, mukhtashar, hingga menulis kitab baru dalam beragam bahasa.

Kehebatan para kiai baik dari segi kedalaman ilmu maupun dalam melahirkan karya-karya telah menarik minat bukan hanya bagi masyarakat Indonesia tetapi juga berpengaruh besar pada dunia Islam pada umumnya. Tidak sedikit kiai dari Indonesia yang menarik perhatian dunia internasional sehingga biografinya
dituliskan, terutama dengan bahasa Arab, sejak abad 18 Masehi. Tarajim (biografi ulama) Indonesia yang ditulis dan diterbitkan di Arab Saudi misalnya, Sayyid Abdurrahman Abdushamad Al-Palimbani (Palembang), Mahfudz at-Termasi (Pacitan Jawa Timur), Syaikh Nawawi Al-Bantani (Banten), dan Syaikh Muhammad Yasin ibn Isa Al-Padani (Padang).
Ketika zaman penjajahan pun, kiai telah mendapatkan perhatian yang besar sehingga untuk pertamakalinya Biografi ulama Indonesia ditulis oleh Raden Aboe Bakar (informan atau asisten peneliti Snouck Hurgronje di Makah). Judul bukunya Tarajim Al-Ulama Al-Jawah bi Makkah Al-Mukaramah (Leiden, Cod.Or. 7111),  yang terdiri 13 ulama, yang mukin di Makkah akhir abad 19. Lima guru-murid dari Banten, Nawawi Al-Bantani, Marzuqi, Ismail, Abdul Karim, Arsyad ibnu Alwan, Arsyad ibnu As’ad (Banten). Hasan Mustafa dan Muhammad (Priangan), Tiga dari Batavia, Junayd, Mujitaba, Aydarus; serta dua ulama dari Sumbawa, Zainudin dan Umar.

Biografi ulama ini memiliki informasi yang sangat luas, dan tidak ditemukan datanya di Indonesia, sayangnya kebanyakan tidak dituliskan dalam penulisan biografi ulama yang ditulis orang Indonesia.

Kemasyhuran para kiai hingga menarik perhatian khalayak karena mereka membangun tradisi menulis dan mewariskan karya tulis tersebut pada generasi berikutnya. Tampaknya para kiai sadar bahwa pengetahuan hanya bisa bertahan dan berkembang bila dituliskan. Karena alasan ini, para kiai memiliki tradisi menulis yang sangat kuat dengan menghasilkan karya abadi melintasi generasi dan zaman. Tradisi intelektual pesantren tercermin pada sosok, Syaikh Nawawi Al-Bantani, Syaikh Khalil Bangkalan, Mahfudz At-Turmusi, hingga
Hadratusy Syaik Hasyim Asy’ari untuk menyebut beberapa tokoh.

Di kalangan kiai dan santri pondok pesantren kini dirasakan mengalami kemadegan bahkan kemunduran dalam berkarya tulis. Saat ini sangat sulit menemukan kiai pesantren yang menulis kitab kemudian menjadi rujukan. Kitab-kitab yang dikaji di pesantren adalah karya-karya para ulama terkemuka pada zamannya, dan kebanyakan masih orisinil, belum dilakukan pensyarahan, pengkhulashahan, pemukhtasharan, apalagi penulisan kitab baru.

Di sisi lain ada perkembangan baru setelah terjadi modernisasi dalam pendidikan pesantren. Beberapa kiai yang berkarya tidak lagi hanya berbahasa arab tetapi juga berbahasa Indonesia dan bahasa lokal lainnya. Bukan hanya berbentuk kitab kuning tetapi juga dalam bentuk makalah seminar, workshop, artikel untuk koran, tabloid, majalah, bahkan karya untuk di sajikan didunia maya, website, blog, twiter, juga facebook.

Namun kiai dan ulama (dan orang pesantren pada umumnya) yang memiliki tradisi menulis disarasan tetap sedikit dan semakin sedikit. Kemunduran tradisi menulis dikalangan ulama pesantren ini secara hepotesis disebabkan oleh dua hal; Pertama, ketawadhuan para kiai dan santri dengan jaringan keguruan maupun
jaringan kekeluargaan. Kedua, tradisi menulis tidak dikembangkan secara serius dikalangan kaum santri.
Di pondok pesantren memang ada mading (majalah dinding), majalah, buletin, atau koran sederhana yang umumnya terbit tidak rutin, dan dikelola hanya beberapa orang dengan seadanya.

Santri pada umumnya hampir-hampir tidak mengenal tradisi berkarya tulis. Demikian pula di pesantren tingkat tinggi, seperti Ma’had ‘Aly atau pesantren Mahasiswa yang mengalami trend dalam 10-15 tahunan terakhir.

Di beberapa pondok pesantren yang pernah diteliti tidak memberikan porsi membangun tradisi menulis secara memadai. Dalam situasi dunia tulis menulis di pesantren yang demikian, Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari memberikan ruang penguatan tradisi menulis. Pesantren ini memberikan orientasi menulis sebagai pusat keunggulan, sumber peradaban dalam membangun bangsa. Sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari adalah satu-satunya pesantren yang fokus mencipta penulis dari gua garba pesantren.

Hingga saat ini pencapaian pesantren ini sungguh luar biasa menyandang image (brand image) sebagai pesantren tempat mencipta menulis. Tulisan ini akan menelusuri dan mendiskripsikan spirit utama sehingga menulis menjadi kurikulum utama, bagaimana pola pembelajaran dilakukan, dan hasil-hasil yang telah di raih
santri di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Yogyakarta. Kiai, Pesantren Tradisi Menulis

Harus diakui, bahwa tradisi berkarya tulis di pesantren mengalami kemerosotan dari zaman ke zaman. Apalagi di zaman sekarang ini, semakin sulit mencari kiai atau santri yang menulis atau dipersiapkan untuk menjadi penulis. Jangankan untuk menulis kitab kuning, sekadar terampil menulis untuk menuangkan gagasan saja sangat terbatas. Ada banyak alumni pesantren yang saat ini juga menjadi penulis, tetapi bukan hasil dari kaderisasi yang disiapkan untuk menjadi penulis ketika belajar di pesantren. Mereka menjadi penulis karena bergumul dengan dunia luar pesantren, kemudian bersungguh-sungguh secara mandiri belajar untuk menjadi penulis.

Kini cukup banyak alumni pesantren yang menjadi penulis. Namun situasi tetap saja, sangat sedikit-minim pesantren yang menyiapkan santrinya untuk menjadi penulis. Para kiai yang saya kenal, dan dikenal sebagai penulis dan berkarya tulis, mayoritas mereka tidak menularkan ilmu semangat menulisnya kepada para santri. Kiai yang menulis seakan menikmati dunianya sendiri. Oleh karena itu, sudah waktunya tradisi menulis di dunia pesantren dibangun kembali spiritnya sehingga pesantren kembali pada zaman keemasannya
sebagai lembaga akademik yang memiliki dunia menulis dan berkarya yang sangat kuat.

Dalam konteks yang lebih dekat dan luas, mungkin ada pula hubungannya antara tersingkirnya dunia kiai di panggung akademik (IAIN) dan (hanya) kembali ke dunia pesantren, dialog dengan produk akademik lain (Barat) berkurang sehingga tradisi menulis juga menurun. Namun ini hipotesis yang spekulatif dan harus dibuktikan melalui penelitian kademik yang dalam.

Pondok pesantren juga memberikan ruang bagi para santri untuk berkreatifitas melalui tulis menulis. Secara umum dilakukan dengan sederhana dan seadanya. Ada terbitan majalah, koran, website, maupun majalah dinding di pesantren, tetapi umumnya lebih banyak dikelola oleh para ustadz, bukan langsung santri. Keunggulan santri yang memiliki kemampuan menulis sebagai nilai lebih di pesantren tidak pernah penulis temukan di berbagai pesantren. Hal ini membuktikan bahwa dunia tulis menulis di pesantren belum dipersiapkan secara matang dan didesain sedemikian rupa sehingga menjadi nilai keunggulan kompetitif yang ditawarkan ke masyarakat.

Kondisi ini terjadi di hampir semua pondok pesantren, baik salaf, khalaf, terpadu, Ma’had ‘Aly, maupun pondok pesantren mahasiswa. Penelitian-penelitian yang telah ada sejak Zamakhsyari Dhofier dengan Tradisi Pesantren (1982) hingga Ronald Lukens Bull dengan Peacefull Jihad (1997) tidak ditemukan kompetensi menulis santri di semua pondok pesantren, termasuk di Pondok Pesantren Mahasiswa.

Situasi ini sungguh ironi sekaligus anomali, karena krisis tradisi menulis di pesantren telah menjadi keprihatinan bersama khususnya di dunia pesantren sendiri. Para ulama, kiai, pengasuh pesantren, dan akademisi telah menuturkan krisis ini hampir tidak terhitung lagi. Tetapi pada saat yang sama belum
ada upaya-upaya strategis, sistematis, dan saling bersinergi untuk membangun budaya menulis yang lahir dari dunia dalam pesantren.

(sebagian buku, merupakan wawancara dengan Fauzi Abdurrahman)

Tidak ada komentar:

Al Qur'an On Line