Cari Entry Blog Ini

Sabtu, 27 April 2013

Mengkritisi Pendidikan Mahal

Tahun ajaran baru 2008-2009 barangkali merupakan era baru bagi masyarakat, khususnya menyangkut biaya. Masyarakat banyak berteriak bahwa biaya pendidikan mahal, baik pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi. Teriakan-teriakan itu tidak hanya mengenai besarnya sumbangan pembangunan gedung sekolah, tetapi juga menyangkut biaya operasional sehari-hari. Misalnya, biaya pembelian buku, pembelian lembar kerja siswa (LKS) dan biaya-biaya ekstra lainnya. Seperti biasanya, pihak pengelola pendidikan melakukan pembelaan dengan alasan cukup argumentatif bahwa pada saat kualitas menjadi tuntutan, mau tidak mau dibutuhkan dana besar untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang memenuhi standar baku, dan masyarakat harus berpartisipasi ikut menanggung beban berat demi meringankan pengelola pendidikan dalam memenuhi harapan pendidikan yang berkualitas. Sebagai orangtua, kita pasti setuju bahwa pendidikan mempunyai peranan besar terhadap masa depan anaknya. Karena itu, menyekolahkan anak sampai ke jenjang pendidikan yang paling tinggi adalah salah satu cara agar si anak mampu mandiri, terutama dilihat dari sisi finansialnya nanti. Namun, mahalnya biaya pendidikan saat ini ditambah lagi dengan mahalnya kebutuhan pokok membuat orangtua tidak mampu menyediakan dana pendidikan tersebut saat dibutuhkan. Meski begitu, para orangtua juga tidak bisa menyangkal bahwa biaya pendidikan merupakan komponen masukan instrumental yang berposisi sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya pendidikan persekolahan. Dalam hal ini, hampir setiap upaya pencapaian tujuan pendidikan, baik itu yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif, biaya pendidikan memiliki peranan yang sangat menentukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa biaya, proses pendidikan persekolahan pada khususnya, tidak akan berjalan dengan baik. Akibatnya ada hubungan antara kualitas dengan biaya. Hal tersebut bisa kita buktikan secara empiris, bahwa banyak di antara sekolah yang berbiaya mahal, khususnya di kota-kota besar yang mempunyai fasilitas bagus, kualitas pendidikan pun bagus. Sebaliknya, kita tidak boleh terlalu berharap atas kualitas lulusan sekolah Inpres, yang bangunan dan fasilitas pendidikan lainnya sangat memprihantinkan dan yang sebagian gurunya juga harus berjualan rokok di sore dan malam hari sebagai tambahan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Artinya, untuk menghasilkan lulusan yang baik, maka dibutuhkan fasilitas yang baik pula yang implikasinya adalah pendanaan yang bagus. Dari uraian di atas, persoalan yang perlu kita kemukakan di sini adalah bahwa sampai kini kita masih dihadapkan pada persoalan realitas bahwa sekolah yang "berkualitas" seolah-seolah hanya boleh dinikmati oleh masyarakat yang "beruang" saja. Sedang masyarakat bawah (miskin) harus tetap pada posisinya sebagai kelas "kedua" yang harus mendapatkan pendidikan asal-asalan. Nah, kalau sudah demikian, pertanyaan yang muncul kemudian, jika hanya masyarakat yang berduit saja yang mampu mendapatkan kualitas pendidikan yang bagus, lantas bagaimana dengan masyarakat bawah yang ingin meningkatkan taraf hidupnya melalui pendidikan yang berkualitas? Apakah masyarakat miskin harus meneruskan generasi penerus yang miskin? Harus kita akui, kini telah banyak biaya pendidikan berupa beasiswa serta bantuan minimal pendidikan dari pemerintah untuk mengurangi biaya pendidikan setiap siswa. Akan tetapi, apa yang telah dikeluarkan pemerintah tersebut ternyata tidak seberapa bila dibandingkan dengan kebutuhan yang diperlukan sekolah untuk menghasilkan kualitas yang memadai. Sehingga, pada akhirnya, jalan yang ditempuh oleh pihak sekolah adalah dengan "berkreasi" mencari dana tambahan dari orangtua murid. Di sinilah kemudian lagi-lagi beban itu menghimpit orangtua murid. Bagi kalangan masyarakat tertentu, terutama yang kehidupan ekonominya rendah, tentu saja mahalnya biaya pendidikan saat ini adalah menjadi momok yang terlalu menakutkan. Betapa tidak, mahalnya pendidikan saat ini telah memformalkan diskriminasi untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Padahal, dalam Pasal 31 Amandemen UUD 45 ayat 1, jelas-jelas telah dinyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Amanat UUD 1945 itu juga diperkuat lagi dengan adanya UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yakni Pasal 5 ayat 1 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Bahkan, tidak berhenti sampai di situ. Dalam pasal 6 ayat 1 (UU Sisdiknas) juga disebutkan, setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Dalam kaitan ini, baik itu pemerintah pusat maupun daerah, sebagaimana tertuang dalam UU Sisdiknas Pasal 11 ayat 2, wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun. Dalam perspektif ini, muncul kecenderungan bahwa seolah-olah pendidikan tidak mengajarkan bagaimana jurang stratifikasi sosial itu dihentikan dan setiap murid diperlakukan secara sama dan wajar. Pendidikan justru benar-benar mengajarkan bagaimana diskriminasi dilakukan. Maka benarlah apa yang dikatakan Eko Prasetyo (2005), bahwa "Orang miskin dilarang sekolah!." Dan, ironisnya, fenomena ini secara teramat naif direspons pemerintah dengan hanya menganggarkan biaya pendidikan yang hingga kini belum juga mencapai angka 20 persen sebagaimana tertuang dalam UU Sisdiknas Pasal 31 ayat 4. Lebih ironis lagi ketika biaya pendidikan yang minim tersebut ternyata banyak mengalami kebocoran yang "kejahatan" tersebut justru banyak dilakukan oleh para praktisi pendidikan itu sendiri. Pendidikan haruslah menjadi milik dan hak setiap orang. Kecerdasan dan kualitas intelektual, bukan hanya menjadi keinginan kalangan tertentu, tetapi juga menjadi keinginan semua orang. Karena itu, setiap upaya menjual mahal pendidikan harus dihentikan, karena tidak mencerminkan idealisme dan substansi UUD 45 tentang pembentukan manusia seutuhnya.

Tidak ada komentar:

Al Qur'an On Line